Thursday, September 12, 2013

Untuk download makalah ini dalam format ms.word
Link Download : Makalah Konsep Strategi Belajar Mengajar.doc
Setelah link download diklik, tunggu 5 detik, klik "skipad" pada sudut kanan atas.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Strategi Belajar Mengajar


Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang ditelah ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.

B. Strategi Dasar Dalam Belajar Mengajar

Ada empat strategi dasar dalam belajar mengajar yang meliputi hal-hal berikut:
1. Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.
2. Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.
3. Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajamya.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan sehingga dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempumaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.

   Dari uraian di atas tergambar bahwa ada empat masalah pokok yang sangat penting yang dapat dan harus dijadikan pedoman buat pelaksanaan kegiatan belajar mengajar agar berhasil sesuai dengan yang diharapkan.

     Pertama, spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku yang bagaimana diinginkan sebagai hasil belajar mengajar yang dilakukan itu. Di sini terlihat apa yang dijadikan sebagai sasaran dari kegiatan belajar mengajar. Sasaran yang dituju harus jelas dan terarah. Oleh karena itu, tujuan pengajaran yang dirumuskan harus jelas dan konkret, sehingga mudah dipahami oleh anak didik. Bila tidak, maka kegiatan belajar mengajar tidak punya arah dan tujuan yang pasti. Akibat selanjutnya perubahan yang diharapkan terjadi pada anak didik pun sukar diketahui, karena penyimpangan-penyimpangan dari kegiatan belajar mengajar. Karena itu, rumusan tujuan yang operasional dalam belajar mengajar mutlak dilakukan oleh guru sebelum melakukan tugasnya di sekolah.

       Kedua, memilih cara pendekatan belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif untuk mencapai sasaran. Bagaimana cara guru memandang suatu persoalan, konsep, pengertian dan teori apa yang guru gunakan dalam memecahkan suatu kasus, akan mempengaruhi hasilnya. Satu masalah yang dipelajari oleh dua orang dengan pendekatan yang berbeda, akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak sama. Norma-norma sosial seperti baik, benar, adil, dan sebagainya akan melahirkan kesimpulan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan bila dalam cara pendekatannya menggunakan berbagai disiplin ilmu. Pengertian konsep dan teori ekonomi tentang baik, benar atau adil, tidak sama dengan baik, benar atau adil menurut pengertian konsep dan teori antropologi. Juga akan tidak sama apa yang dikatakan baik, benar atau adiI kalau seseorang guru menggunakan pendekatan agama, karena pengertian konsep dan teori agama mengenai baik, benar atau adil itu jelas berbeda dengan konsep ekonomi maupun antropologi. Begitu juga halnya dengan cara pendekatan yang digunakan terhadap kegiatan belajar mengajar. Belajar menurut Teori Asosiasi, tidak sama dengan pengertian belajar menurut Teori Problem Solving. Suatu topik tertentu dipelajari atau dibahas dengan cara menghapal, akan berbeda hasilnya kalau dipelajari atau dibahas dengan teknik diskusi atau seminar. Juga akan lain hasilnya andaikata topik yang sama dibahas dengan menggunakan kombinasi berbagai teori.

       Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar yang dianggap paling tepat dan efektif. Metode atau teknik penyajian untuk memotivikasi anak didik agar mampu menerapkan pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah, berbeda dengan cara atau metode supaya anak didik terdorong dan mampu berpikir bebas dan cukup keberanian untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. Perlu dipahami bahwa suatu metode mungkin hanya cocok dipakai untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi dengan sasaran yang berbeda, guru hendaknya jangan menggunakan teknik penyajian yang sama. Bila beberapa tujuan ingin diperoleh, maka guru dituntut untuk memiliki kemampuan tentang penggunaan berbagai metode atau mengombinasikan beberapa metode yang relevan. Cara penyajian yang satu mungkin lebih menekankan kepada peranan anak didik, sementara teknik penyajian yang lain lebih terfokus kepada peranan guru atau alat-alat pengajaran seperti buku, atau mesin komputer misalnya. Ada pula metode yang lebih berhasil bila dipakai buat anak didik dalam jumlah yang terbatas, atau cocok untuk mempelajari materi tertentu. Demikian juga bila kegiatan belajar mengajar berlangsung di dalam kelas, di perpustakaan, di laboratorium, di mesjid, atau di kebun, tentu metode yang diperlukan agar tujuan tercapai. Untuk masing-masing tempat seperti itu tidak sama. Tujuan instruksional yang ingin dicapai tidak selalu tunggal, bisa jadi terdiri dari beberapa tujuan atau sasaran. Untuk itu guru membutuhkan variasi dalam penggunaan teknik penyajian supaya kegiatan belajar mengajar yang berlangsung tidak membosankan.

Keempat, menerapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru mempunyai pegangan yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai sampai sejauh mana keberhasilan tugas-tugas yang telah dilakukannya. Suatu program baru bisa diketahui keberhasilannya, setelah dilakukan evaluasi. Sistem penilaian dalam kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu strategi yang tidak bisa dipisahkan dengan strategi dasar yang lain.

Apa yang harus dinilai, dan bagaimana penilaian itu harus dilakukan termasuk kemampuan yang harus dimiliki oleh guru. Seorang anak didik dapat dikategorikan sebagai anak didik yang berhasil, bisa dilihat dari berbagai segi. Bisa dilihat dari segi kerajinannya mengikuti tatap muka dengan guru, perilaku sehari-hari di sekolah, hasil ulangan, hubungan sosial, kepemimpinan, prestasi olahraga, keterampilan, dan sebagainya. Atau dapat pula dilihat dari gabungan berbagai aspek.

C. Klasifikasi Strategi Belajar Mengajar


Menurut Tabrani Rusyan dkk., terdapat berbagai masalah sehubungan dengan strategi belajar mengajar yang secara keseluruhan diklasifikasikan seperti berikut: [1] konsep dasar strategi belajar mengajar, [2] sasaran kegiatan belajar, [3] belajar mengajar sebagai suatu sistem, [4] hakikat proses belajar, [5] entering behavior siswa, [6] pola­ pola belajar siswa, [7] memilih sistem belajar mengajar, [8] pengorganisasian kelompok belajar, [9] pengelolaan atau implementasi proses belajar mengajar.

Klasifikasi satu sampai sembilan sebagaimana disebutkan di atas akan diuraikan secara singkat satu per satu berikut ini.

1. Konsep Dasar Strategi Belajar Mengajar

Seperti telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa konsep dasar strategi belajar mengajar ini meliputi hal-hal: [a] menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku, [b] menentukan pilihan berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengajar, [c] memilih prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar, dan [d] menerapkan norma dan kriteria keberhasilan kegiatan belajar mengajar.

2. Sasaran Kegiatan Belajar Mengajar

Setiap kegiatan belajar mengajar mempunyai sasaran atau tujuan. Tujuan itu bertahap dan berjenjang mulai dari yang sangat operasional dan konkret, yakni Tujuan Instruksional Khusus dan Tujuan Instruksional Umum, tujuan kurikuler, tujuan nasional, sampai kepada tujuan yang bersifat universal.

Persepsi guru atau persepsi anak didik mengenai sa saran akhir kegiatan belajar mengajar akan mempengaruhi persepsi mereka terhadap sasaran-antara serta sasaran-kegiat an. Sasaran itu harus diterjemahkan ke dalam ciri-ciri perilaku kepribadian yang didambakan. Pada tingkat sasaran atau tujuan yang universal, manusia yang diidamkan tersebut harus memiliki kualifikasi: a) pengembangan bakat secara opti­ mal, b) hubungan antarmanusia, c) efisiensi ekonomi, dan d) tanggung jawab selaku warga negara.

Pandangan hidup para guru maupun anak didik akan turut mewamai berkenaan dengan gambaran karakteristik sasaran manusia idaman. Konsekuensinya akan mempengaruhijuga kebijakan tentang perencanaan, pengorganisasian, serta penilaian terhadap kegiatan belajar mengajar,

3. Belajar Mengajar sebagai Suatu Sistem

Belajar mengajar selaku suatu sistem instruksional mengacu kepada pengertian sebagai seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Selaku suatu sistem, belajar mengajar meliputi suatu komponen, antara lain tujuan, bahan, siswa, guru, metode, situasi, dan evaluasi. Agar tujuan itu tercapai, semua komponen yang ada harus diorganisasikan sehingga antarsesama komponen terjadi kerja sama. Karena itu, guru tidak boleh hanya memperhatikan komponen-komponen tertentu saja misalnya metode, bahan, dan evaluasi saja, tetapi ia harus mempertimbangkan komponen secara keseluruhan.
Berbagai persoalan yang biasa dihadapi oleh guru antara lain adalah: [a.] Tujuan-tujuan apa yang mau dicapai. [b.] Materi pelajaran apa yang diperlukan. [c.] Metode, alat mana yang harus dipakai.
[d.] Prosedur apa yang akan ditempuh untuk melakukan evaluasi.

Secara khusus dalam proses belajar mengajar guru berperan sebagai pengajar, pembimbing, perantara sekolah dengan masyarakat, administrator, dan lain-lain. Untuk itu wajar bila guru memahami dengan segenap aspek pribadi anak didik seperti: [1.] Kecerdasan dan bakat khusus. [2.] Prestasi sejak permulaan sekolah. [3.] Perkembangan jasmani dan kesehatannya. [4.] Keeenderungan emosi dan karaktemya. [5.]Sikap dan minat belajar. [6.]Cita-cita. [7.] Kebiasaan belajar dan bekerja. 8. Hobi dan penggunaan waktu senggang. [9.]Hubungan sosial di sekolah dan di rumah. [10.] Latar belakang keluarga. [11.] Lingkungan tempat tinggal. [12.] Sifat-sifat khusus dan kesulitan anak didik.

Usaha untuk memahami anak didik ini bisa dilakukan melalui evauasi. Selain itu, guru mempunyai keharusan melaporkan perkembangan hasil belajar para siswa kepada kepala sekolah, orang tua, dan instansi yang terkait.

4. Hakikat Proses Belajar Mengajar
Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Artinya, tujuan kegiatan adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek organisme atau pribadi. Kegiatan belajar mengajar seperti mengorganisasi pengalaman belajar, mengolah kegiatan belajar mengajar, menilai proses, dan hasil belajar, kesemuanya termasuk dalam cakupan tanggungjawab guru. Jadi, hakikat belajar adalah perubahan.

5. Entering Behavior Siswa

Hasil kegiatan belajar mengajar tercermin dalam perubahan perilaku, baik secara material-subtansial, struktural-fungsional, maupun secara behavior. Yang dipersoalkan adalah kepastian bahwa tingkat pre stasi yang dicapai siswa itu apakah benar merupakan hasil kegiatan belajar mengajar yang bersangkutan. Untuk kepastiannya seharusnya guru mengetahui tentang karakteristik perilaku anak didik saat mereka mau masuk sekolah dan mulai dengan kegiatan belajar mengajar dilangsungkan, tingkat dan jenis karakteristik perilaku anak didik yang telah dimilikinya ketika mau mengikuti kegiatan belajar mengajar. Itulah yang dimaksudkan dengan entering behavior siswa.
Menurut Abin Syamsuddin, entering bahavior akan dapat diidentifikasi dengan cara:
a. Secara tradisional, telah lazim para guru mulai dengan pertanyaan mengenai bahan yang pemah diberikan sebelum menyajikan bahan baru.
b. Secara inovatif, guru tertentu di berbagai lembaga pendidikan yang memiliki atau mampu mengembangkan instrumen pengukuran prestasi belajar dengan memenuhi syarat, mengadakan pre-tes sebelum mereka mulai mengikuti program belajar mengajar.

Gambaran tentang entering behavior, ialah siswa banyak menolong guru yang antara lain:
a. Untuk mengetahui seberapa jauh kesamaan individual siswa dalam taraf kesiapannya (readiness), kematangan (maturation), serta tingkat penguasaan (materi) pengetahuan dan keterampilan dasar bagi penyajian bahan baku.
b. Diketahuinya disposisi perilaku siswa tersebut akan dapat dipertimbangkan dan dipilih bahan, prosedur, metode, teknik serta alat bantu belajar mengajar yang sesuai.
c. Dengan membandingkan nilai proses dengan nilai hasil pasca-tes, atau setelah menjalani program kegiatan belajar mengajar, guru akan mendapat petunjuk seberapajauh dan seberapa banyak perubahan perilaku itu telah menjadi dalam diri siswa. Perbedaan antara nilai pasca-tes dengan pre-tes, baik secara kelompok maupun individual, merupakan indikator prestasi atau hasil pencapaian yang nyata sebagai pengaruh dari proses belajar mengajar.

Ada tiga dimensi dari entering behavior yang perlu diketahui oleh guru:

a. Batas-batas ruang lingkup materi pengetahuan yang telah dimiliki dan dikuasai oleh siswa.
b. Tingkatan tahapan materi pengetahuan, terutama kawasan pola-pola sambutan atau kemampuan yang telah dimiliki siswa.
c. Kesiapan dan kematangan fungsi-fungsi psikofisik.

Sebelum merencanakan dan melaksanakan kegiatan mengajar, guru harus dapat menjawab pertanyaan:
a. Sejauh mana batas-batas materi pengetahuan yang telah dikuasai dan diketahui oleh siswa yang akan diajar.
b. Tingkat dan tahap serta jenis kemampuan manakah yang telah dicapai dan dikuasai oleh siswa yang bersangkutan.
c. Apakah siswa sudah cukup siap dan matang untuk menerima bahan dan pola-pola perilaku yang akan diajarkan.
d. Berapa jauh motivasi dan minat belajar yang dimiliki oleh siswa sebelum belajar dimulai.

6. Pola-pola Belajar Siswa

Robert M. Gagne membedakan pola-pola belajar siswa ke dalam delapan tipe, di mana yang satu merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya. Delapan tipe belajar dimaksud adalah: 1) Signal learning (belajar isyarat), 2) Stimulus-response learning (belajar stimu­ lus-respons), 3) Chaining (rantai atau rangkaian), 4) Verbal associa­ tion (asosiasi verbal), 5) Discrimination learning (belajar kriminasi), 6) Concept learning (belajar konsep), 7) Rule learning (belajar aturan), dan 8) Problem solving (memecahkan masalah).

Kedelapan tipe belajar sebagaimana disebutkan di atas akan diuraikan satu per satu secara singkat danjelas sebagai berikut:

a. Belajar tipe 1. Signal Learning (Belajar lsyarat)

Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Jadi, tidak menuntut persyaratan, namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk tipe belajar yang paling tinggi. Signallearning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat involuntary ( tidak sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan buat berlangsungnya tipe belajar ini, adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak, perangsang-perangsang tertentu secara berulang kali. Signal learning ini mirip dengan conditioning menurut Pavlov yang timbul setelah sejumlah pengalaman tertentu. Respons yang timbul bersifat umum dan emosional, selain timbulnya dengan tak sengaja dan tak dapat dikuasai.

Contoh Aba-aba "Siap!" merupakan suatu signal atau isyarat untuk mengambil sikap tertentu. Melihat wajah ibu menimbulkan rasa senang. Wajah ibu di sini merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan senang itu. Melihat ular yang besar menimbulkan rasa jijik. Melihat ular itu merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan tertentu.

b. Belajar Tipe 2: Stimulus-Respons Learning (Belajar Stimulus­ Respons)

Bila tipe di atas digolongkan dalamjenis classical condition, maka tipe belajar 2 ini termasuk ke dalam instrumental conditioning (Kinble, 1961) atau belajar dengan trial and error (mencoba-coba). Proses belajar bahasa pad a anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement. Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat reinforce­ ment.
Contoh: Anjing dapat diajar "memberi salam” dengan mengangkat kaki depannya bila kita katakan "Kasih tangan!" atau "Salam". Ucapan 'kasih tangan' merupakan stimulus yang menimbulkan respons 'memberi salam' oleh anjing itu.
 Berdasarkan contoh di atas, jelas bahwa kemampuan itu tidak diperoleh dengan tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respons dapat diatur dan dikuasai. Respons bersifat-spesifik, tidak umum dan kabur. Respons diperkuat atau di-reinforce dengan adanya imbalan atau reward. Sering gerakan motoris merupakan komponen penting dalam respons itu. Dengan belajar stimulus-respons ini seorang pelajar mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing. Demikian pula seorang bayi belajar mengatakan "Mama".

c. Belajar ripe 3: Chainng (Rantai atau Rangkaian)

Chaining adalah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R (Stimu­lus-Respons) yang satu dengan lain. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforce­ ment tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.

Contoh: Dalam bahasa kita banyak contoh chaining seperti ibu-bapak, kampung-halaman, selamat tinggal, dan sebagainya. Juga dalam perbuatan kita banyak terdapat chaining ini, misalnya pulang kantor, ganti baju, makan malam, dan sebagainya. Chain­ ing terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi. Jadi berdasarkan hubungan (contiguity).



d. Belajar tipe 4: Verbal Association (Asosiasi Verbal)

Baik chaining maupun verbal association, kedua tipe belajar ini setaraf, yaitu belajar menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan yang lain. Bentuk verbal association yang paling sederhana adalah bila diperlihatkan suatu bentuk geometris, dan si anak dapat mengatakan "bujur sangkar", atau mengatakan "itu bola saya", bila dilihatnya bolanya. Sebelumnya ia harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapat mengenal 'bujur sangkar' sebagai salah satu bentuk geometris, atau mengenal 'bola', 'saya', dan' itu'. Hubungan itu terbentuk, bila unsur­ unsurnya terdapat dalam urutan tertentu, yang satu segera mengikuti yang satu lagi (contiguity).

e. Belajar tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)

Discrimination learning atau belajar mengadakan pembeda. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respons yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama bagi berlangsungnya proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemah iran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R).
Contoh: Anak dapat mengenal berbagai merk mobil berserta namanya, walaupun tampaknya mobil itu banyak bersamaan. Demikian pula ia dapat membedakan manusia yang satu dari yang lain; juga tanaman, binatang, dan lain-lain. Guru mengenal anak didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak­ anak itu. Diskriminasi didasarkan atas chain. Anak misalnya harus mengenal mobil tertentu berserta namanya. Untuk mengenal model lain harus pula diadakannya chain baru, dengan kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satunya lagi.
 Makin banyak yang dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan gangguan atau interference itu, dan kemungkinan suatu chain dilupakan.

f. Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)

Concept learning adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan eiri-eiri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep, kondisi utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitiffundamen­ tal sebelumnya.

Belajar konsep mungkin karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Mungkin juga binatang dapat melakukan demikian, akan tetapi sangat terbatas. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan kemampuannya mengabstraksi. Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut wama, bentuk, besar,jumlah, dan sebagainya. Ia dapat menggolongkan manusia menurut hubungan keluarga, seperti bapak, ibu, paman, saudara, dan sebagainya; menurut bangsa, pekerjaan, dan sebagainya. Dalam hal ini, kelakuan manusia tidak dikuasai oleh stimulus dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk yang abstrak. Misalnya kita dapat menyuruh anak dengan perintah: "Ambilkan botol yang di tengah!" Untuk mempelajari suatu konsep, anak harus mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Dalam pada itu ia harus dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang tennasuk dan tidak termasuk konsep itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.

g. Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)

Rule learning belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini siswa belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, dedukatif, analisis, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga anak didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai "rule": prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah, dan sebagainya.
Belajar aturan adalah tipe belajar yang banyak terdapat dalam pelajaran di sekolah. Banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang terdidik. Aturan ini terdapat dalam tiap mata pelajaran. Misalnya, benda yang dipanaskan memuai, angin berhembus dari daerah maksimum ke daerah minimum, (a + b) (a - b) = a2 - b2, untuk menjamin keselamatan negara harus diadakan pertahanan yang ampuh, tiap warga negara harus setia kepada negaranya, dan sebagainya. Ada yang mengatakan, bahwa anak-anak harus "menemukan sendiri" aturan-aturan itu. Ada pula yang berpendirian, aturan-aturan dapat juga dipelajari dengan "memberitahukannya" kepada anak didik disertai dengan contoh-contoh, dan cara ini lebih singkat dan tidak kurang efektifnya. Mengenal aturan tanpa memahaminya akan merupakan "verbal chain saja dan ini hanya menunjukkan cara belajar yang salah.

Kondisi yang memungkinkan terjadinya proses belajar seperti ini, disarankan:
a. Kepada anak didik diberitahukan bentuk performance yang diharapkan, kalau yang bersangkutan telah menjalaru proses belajar.
b. Kepada anak didik diberikan sejumlah pertanyaan yang merangsang, mengingatkannya(recall) terhadap konsep-konsep yang telah dipelajari dan dimilikinya untuk mengungkapkan perbendaharaan pengetahuannya.
e. Kepada anak didik diberikan beberapa kata kunei yang menyarankan anak didik ke arah pembentukan kaidah tertentu yang diharapkan.
d. Diberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengekspresikan dan menyatakan kaidah tersebut dengan kata-katanya sendiri.
e. Kepada anak didik diberikan kesempatan selanj utnya untuk menyusun rumusan 'rule' tersebut dalam bentuk statement formal.

h. Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)

Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini para anak didik belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Menurut John Dewey belajar memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut: individu menyadari masalah bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya semacam kesulitan. Langkah-Iangkah yang memecahkan masalah, adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan dan Menegaskan Masalah
Individu melokalisasi letak sumber kesulitan, untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan menggunakan prinsip atau dalil serta kaidah yang diketahuinya sebagai pegangan.
2. Mencari Fakta Pendukung dan Merumuskan Hipotesis
Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan termasuk pengalaman orang lain dalam menghadapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian mengidentifikasi berbagai altematif kemungkinan pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai pertanyaanjawaban sementara yang memerlukan pembuktian (hipotesis).

3. Mengevaluasi Alternatif Pemecahan yang Dikembangkan
Setiap alternatif pemecahan ditimbang dari segi untung ruginya. Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih altematifyang dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntungkan.

4. Mengadakan Pengujian atau Verifikasi
Mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental altematif pemecahan yangdipilih, dipraktikkan, atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaan itu diperoleh informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya yang telah dirumuskan.

Dengan demikian proses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung kalau proses-proses belajar fundamentallainnya telah dimiliki dan dikuasai, menurut kondisi lain yang diperlukan adalah bahwa kepada anak didik hendaknya:
1. Diberikan stimulus yang dapat menimbulkan situasi bermasalah dalam
diri anak didik.
2. Diberikan kesempatan untuk memilih dan berlatih merumuskan dan mencari altematif pemecahannya.
3. Diberikan kesempatan untuk berlatih dan mengalami sendiri melaksanakan pemecahan dan pembuktiannya.

Dengan proses pengidentifikasian entering behavior seperti dijelaskan dalam uraian terdahulu, guru akan dapat mengidentifikasi pada tahap belajar atau tipe belajar yang telah dijalaninya. Atas dasar itu guru dapat memilih altematif strategi pengorganisasiannya bahan dan kegiatan belajar mengajar.

7. Memilih Sistem Belajar Mengajar

Para ahli teori belajar telah mencoba mengembangkan berbagai pendekatan atau sistem pengajaran atau proses belajar mengajar. Berhagai sistem pengajaran yang menarik perhatian akhir-akhir ini adalah: enquiry­ discovery approach, expository approach, mastery learning, dan humanistic education.

a. Enquiry-Discovery Learning

Enquiry-discovery learning adalah be lajar mencari dan menemukan sendiri. Dalam sistem belajar mengajar ini guru menyaj ikan bahan pelajaran tidak dalam bentuk yang final, tetapi anak didik diberi peluang untuk mencari dan menemukannya sendiri dengan mem­ pergunakan teknik pendekatan pemecahan masalah. Secara garis besar prosedumya adalah demikian:
1. Simulation. Guru mulai bertanya dengan mengajukan persoalan atau menyuruh anak didik membaca atau mendengarkan uraian yang memuat permasalahan.
2. Problem statement. Anak didik diberi kesempatan mengidentifikasi berbagai permasalahan. Sebagian besar memilihnya yang dipandang paling menarik dan fleksibel untuk dipeeahkan. Permasalahan yang dipilih itu selanjutya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pemyataan (statement) sebagaijawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
3. Data collection. Untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis ini, anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaea literatur, mengamati objek, wawaneara dengan nara­ sumber, melakukan uji eoba sendiri, dan sebagainya.
4. Data processing. Semua informasi hasil baeaan, wawaneara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diaeak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan eara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepereayaan tertentu.
5. Verification atau pembuktian. Berdasarkan hasiI pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
6. Generalization. Tahap selanjutnya berdasarkan hasil verifikasi tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu.

Sistem belajar yang dikembangkan Bruner ini menggunakan landasan pemikiran pendekatan belajar mengajar. Hasil belajar dengan cara ini lebih mudah dihapal dan diingat, mudah ditransfer untuk memeeahkan masalah. Pengetahuari dan kecakapan anak didik bersangkutan lebih jauh dapat menumbuhkan motivasi intrinsik, karena anak didik merasa puas atas penggunaannya sendiri.
Pendekatan belajar mengajar ini sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognitif. Kelemahannya adalah memakan waktu yang cukup banyak, dan kalau kurang terpimpin atau kurang terarah dapat menjurus kepada kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari.

b. Ekspository Learning

Dalam sistem ini guru menyajikan dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematis, dan lengkap, sehingga anak didik tinggal menyimak dan mencemanya saja secara tertib dan teratur. Secara garis besar prosedur ini adalah:
1. Preparasi. Guru mempersiapkan (preparasi) bahan selengkapnya secara sistematis dan rapi.
2. Apersepsi. Guru bertanya atau memberikan uraian singkat untuk mengarahkan perhatian anak didik kepada materi yang akan diajarkan.
3. Presentasi. Guru menyajikan bahan dengan cara memberikan ceramah atau menyuruh anak didik membaca bahan yang telah disiapkan dari buku teks tertentu atau yang ditulis guru sendiri.
4. Resitasi. Guru bertanya dan anak didik menjawab sesuai dengan bahan yang dipelajari atau anak didik disuruh menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri (resitasi) tentang pokok-pokok masalah yang telah dipelajari, baik yang dipelajari secara lisan maupun tulisan.

c. Mastery Learning

Dari hasil berbagai studi menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil anak didik yang mampu menguasai bahan, yakni 90% - 100% dari penyajian guru. Sebagian besar anak didik bervariasi antara 50% - 80%, malah sebagian lagi ada yang lebih kecillagi penguasaannya terhadap bahan yang disaj ikan guru. Adanya variasi penguasaan bahan ini mencerminkan adanya variasi kemampuan para anak didik.
Menurut Carol, setiap anak didik akan mampu menguasai bahan kalau diberikan waktu atau kesempatan yang cukup untuk mempelajarinya, sesuai dengan kapasitas masing-masing anak didik. Dengan demikian, taraf atau tingkatan belajar itu pada dasamya merupakan fungsi dari proporsi waktu yang disediakan untuk belajar (time allowed/or learning), dengan waktu yang diperlukan untuk belajar (time needed/or learning) oleh setiap anak didik.
Calor tidak menyangkal bahwa ada faktor dominan lain yang berpengaruh terhadap taraf penguasaan belajar itu, yaitu antara kualitas pengajaran (the quality of instruction) dengan tarafkemampuan anak didik untuk memahami pelajaran itu (the student s ability to understand the instruction). Selain itu faktor motivasi juga amat berpengaruh.

d. Humanistic Education

Dalam kenyataan tidak bisa disangkal bahwa kemampuan dasar kecerdasan para siswa sangat bervariasi secara individual. Karena itu, muncul teori belajar yang menitikberatkan upaya untuk membantu siswa agar sanggup mencapai perwujudan dirinya atau self realization sesuai dengan kemampuan dasar dan keunikan yang dimilikinya. Cara pendekatannya masih bersifat enquiry-discovery based approaches.' Karakteristik pokok metode ini antara lain bahwa guru hendaknya jangan membuat jarak terlalu tajam dengan siswa sebagai siswa senior yang selalu siap menjadi sumber atau konsultan yang berbicara. Taraf akhir dari proses belajar mengajar menurut pandangan ini adalah self actua­ lization seoptimal mungkin dari setiap anak didik.

e. Pengorganisasian Kelompok Belajar

Memperhatikan berbagai cara pendekatan atau sistem belajar mengajar seperti diuraikan sebelumnya, disarankan pengorganisasian kelompok belajar anak didik sebagai berikut:
1. N 1. Pada situasi yang ekstrem, kelompok belajar itu mungkin hanya seorang. Untuk peserta yang hanya seorang, metode yang sesuai mungkin konsep belajar mengajar tutorial, pengajaran berprogram, studi individual (independent study).
2. N 2-20. Untuk kelompok kecil sekitar dua sampai dua puluh orang, metode belajarnya bisa diskusi atau seminar. Menggunakan metode klasikal (class room teaching). Tekniknya mungkin bervariasi sesuai kemampuan guru untuk mengelolahnya.
3. N lebih dari 40 orang. Kalau kelompok belajar melebihi 40 orang, pesertanya digabung, biasanya disebut audience. Metode belajamya adalah kuliah atau ceramah.

D. Implementasi Belajar Mengajar

Salah satu faktor yang mendukung kondisi belajar di dalam suatu kelas adalah job description proses belajar mengajar yang berisi serangkaian pengertian peristiwa belajar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok siswa. Sehubungan dengan hal ini, job description guru dalam implementasi proses belajar mengajar adalah:
1. Perencanaan instruksional, yaitu alat atau media untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi belajar.
2. Organisasi belajar yang merupakan usaha menciptakan wadah dan fasilitas-fasilitas atau lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan yang mengandung kemungkinan terciptanya proses belajar mengajar.
3. Menggerakkan anak didik yang merupakan usaha memancing, membangkitkan, dan mengarahkan motivasi belajar siswa. Penggerak atau motivasi di sini pada dasamya mempunyai makna lebih dari pemerintah, mengarahkan, mengaktualkan dan memimpin.
4. Supervisi dan pengawasan, yakni usaha mengawasi, menunjang, membantu, menugaskan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan perencanaan instruksional yang telah didesain sebelumnya.
5. Penelitian yang lebih bersifat penafsiran (assessment) yang mengandung pengertian yang lebih luas dibanding dengan pengukuran atau evaluasi pendidikan.

Tahap-tahap pengelolaan dan pelaksanaan proses belajar mengajar dapat diperinci sebagai berikut:
1) Perencanaan
a. Menetapkan apa yang mau dilakukan, kapan dan bagaimana cara melakukannya.
b. Membatasi sasaran dan menetapkan pelaksanaan kerja untuk mencapai hasil yang maksimal melalui proses penentuan terget
c. Mengambangkan altematif-altematif.
d. Mengumpulkan dan menganalisis informasi.
e. Mempersiapkan dan mengkomunikasikan rencana-rencana dan keputusan-keputusan.
2) Pengorganisasian
a) Menyediakan fasilitas, perlengkapan, dan tenaga kerja yang diperlukan untuk menyusun kerangka yang efisien dalam melaksanakan rencana-rencana melalui suatu proses penetapan kerja yg diperlukan untuk menyelesaikan.
b) Pengelompokkan komponen kerja ke dalam struktur organisasi secara teratur.
c) Membentuk struktur wewenang dan mekanisme koordinasi.
d) Merumuskan, menetapkan metode, dan prosedur.
e) Memilih, mengadakan latihan dan pendidikan tenaga kerja serta mencari sumber lain yg diperlukan.

3) Pengarahan
a) Menyusun kerangka waktu dan biaya secara terperinci;
b) Memprakarsai dan menampilkan kepemimpinan dalam melaksanakan rencana dan pengambilan keputusan.
c) Mengeluarkan instruksi-instruksi yang spesifik.
d) Membimbing, memotivasi dan melakukan supervisi.

4) Pengawasan
a) Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan, dibandingkan dengan rencana.
b) Melaporkan penyimpanan untuk tindakan koreksi dan merumuskan tindakan koreksi, menyusun standar-standar dan saran-saran.
c) Menilai pekerjaan dan melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan.

Dalam kegiatan belajar mengajar terdapat dua hal yang ikut menentukan keberhasilan, yakni pengaturan proses belajar mengajar, dan pengajaran itu sendiri, dan keduanya mempunyai saling ketergantung satu sama lain. Kemampuan mengatur proses belajar mengajar yang baik, akan menciptakan situasi yang memungkinkan anak belajar, sehingga merupakan titik awal keberhasilan pengajaran.
Tujuan pengajaran merupakan pangkal tolak keberhasilan dalam pengajaran. Makinjelas rumusan tujuan makin mudah menyusun rencana dan mengimplementasikan kegiatan belajar mengajar dengan bimbingan guru. Dalam perumusan tujuan instruksional khusus perlu dipertimbangkan hal-hal:
a) Kemampuan dan nilai-nilai apa yang ingin dikembangkan pada diri siswa.
b) Bagaimana cara mencapai tujuan itu secara bertahap atau sekaligus
c) Apakah perlu menekankan aspek-aspek tertentu.
d) Seberapa jauh tujuan itu dapat memenuhi kebutuhan perkembangan siswa.
e) Apakah waktu yang tersedia cukup untuk mencapai tujuan-tujuan itu.

Selanjutnya berkenaan dengan waktu yang tersedia untuk setiap pelajaran per caturwulan, per tahun, sangat berbatas.

Dalam pengaturan ruang belajar perlu diperhatikan:
a) Ukuran dan bentu kkelas.
b) Bentuk serta ukuran bangku dan meja siswa.
c) Jumlah siswa dalam kelas.
d) Jumlah siswa dalam tiap kelompok.
e) Jumlah kelompok dalam kelas.
f) Komposisi siswa dalam kelompok, yang pandai, yang kurang pandai, . jenis kelamin laki-Iakidan perempuan.

Kemudian agar kegiatan belajar itu sesuai dengan kebutuhan cara belajar siswa, diperlukan pengelompokan siswa dalam belajar. Dalam penyusunan anggota kelompok perlu pertimbangan antara lain:
a. Kegiatan belajar apa yang akan dilaksanakan.
b. Siapa yang menyusun anggota kelompok, guru, siswa, atau guru dan siswa bersama-sama.
c. Atas dasar apa kelompok itu disusun.
d. Apakah kelompok itu selalu tetap atau berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan cara belajar.


Dalam melayani kegiatan belajar aktif, pengelompokan siswa mempunyai arti tersendiri. Pengelompokan siswa dapat dibedakan ke dalam tiga jenis yaitu:

a. Menurut kesenangan berteman
Kelas dibagi ke dalam beberapa kelompok siswa yang disusun atas keakraban antarsiswa. Kelompok terdiri atas sejumlah siswa yang menurut mereka kawan-kawan dekat. Mereka duduk mengelilingi meja yang disusun berhadapan. Dalam pengelompokan ini setiap siswa mempelajari atau melakukan kegiatan yang sama.

b. Menurut kemampuan
Untuk memudahkan pelayanan guru, siswa-siswa dikelompokkan menjadi kelompok cerdas, sedang atau menengah, dan kelompok siswa yang lambat dan pengelompokkan ini bisa diubah sewaktu­ waktu sejalan dengan perkembangan kemampuan individual siswa dalam mempelajari mata pelajaran.

c. Menurut minat
Suatu ketika ada siswa yang senang menulis, menggambar, sementara siswa yang lain lagi senang ilmu sosial, ilmu alam, atau matematika.Para anak didik dikelompokkan atas dasar kegiatan yang sama. Siswa yang melakukan aktivitas belajar yang sama, dikelompokkan. Dalam hal ini guru mengamati tiap siswadi samping memberi dorongan untuk berpindah dari suatu kegiatan ke kegiatan yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengaja. PT Rineka Cipta, Jakarta, Cet.IV. 2010

0 comments:

Post a Comment